Sabtu, 28 Februari 2009

Memberi Gelar "Asy Syahid" Pada Person Tertentu

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

(1) Soal:

Apakah boleh menggunakan kata “Syahid” atas seseorang, dikatakan, “Asy-Syahid fulan”?

Jawaban:

Kita tidak boleh memberi kesaksian bagi siapapun bahwa ia syahid, hingga walaupun orang tersebut terbunuh secara zhalim atau terbunuh karena membela diri. Kita tidak boleh mengatakan fulan syahid. Ini berbeda dengan orang-orang pada hari ini. Mereka mudah memberi kesaksian. Mereka menyebut setiap orang yang terbunuh hingga walaupun seseorang terbunuh karena fanatisme jahiliah, mereka menyebutnya syahid. Ini haram; karena perkataan kamu tentang seseorang yang terbunuh bahwa ia syahid merupakan kesaksian yang kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat. Kamu akan ditanya apakah kamu memiliki bukti bahwa ia terbunuh dengan syahid? Karena itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Tidaklah seorang terluka di jalan Allah –Wallahu a’lam dengan orang yang terluka di jalan Allah- kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan wanginya wangi misk”

Perhatikan perkataan Nabi “Wallahu a’lam dengan orang terluka di jalan Allah”. Sesungguhnya sebagian orang terkadang secara lahir memang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, akan tetapi Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya. Apa yang tersembunyi di hatinya kadang berbeda dengan apa yang nampak dari perbuatannya. Karena itu Imam Al-Bukhari membuat bab tentang masalah ini dalam kitab shahihnya, ia berkata, “Bab tidak boleh dikatakan fulan syahid” sebab pusat kesaksian ada dalam hati dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang ada dalam hati kecuali Allah ‘azza wa jalla. Niat adalah perkara besar. Berapa banyak dua orang yang mengerjakan satu perbuatan yang sama namun antara keduanya seperti langit dan bumi disebabkan karena niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّياَتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَر إِلَيْهِ

“Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan”

(2) Soal:

Apa hukum ungkapan “fulan syahid”?

Jawaban:

Memberi kesaksian kepada seseorang bahwa ia mati syahid terjadi pada dua bentuk:

Pertama, diikat dengan sifat seperti ungkapan “Setiap orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang terbunuh mempertahankan hartanya adalah syahid , orang yang mati terkena wabah tha’un adalah syahid dan yang serupa ini. Maka kesaksian dalam bentuk ini hukumnya boleh, seperti yang terdapat dalam nash-nash, karena dengan begitu kamu bersaksi dengan sesuatu yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang kami maksud dengan boleh adalah tidak terlarang, walaupun padahal bersaksi dengan hal itu sebetulnya wajib dalam rangka membenarkan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kedua, diikat dengan seorang tertentu seperti kamu berkata bahwa seseorang tertentu mati syahid. Ini tidak boleh kecuali bagi orang yang telah diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau sesuai dengan kesepakatan ummat. Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab, “Bab tidak dikatakan fulan syahid”. Berkata dalam Fathul Bari (6/90) “Maksudnya dengan kepastian, kecuali hal itu telah ditetapkan oleh wahyu” sepertinya beliau memberi isyarat kepada hadits Umar, suatu hari ia berkhutbah, kalian mengatakan dalam peperangan kalian fulan syahid, dan meninggal fulan dengan syahid, mungkin saja ia telah menindas tunggangannya. Sekali-kali tidak, janganlah kalian mengatakan itu! Akan tetapi katakanlah seperti apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid”. Hadits ini hasan dikeluarkan Imam Ahmad, Sa’id bin Manshur dan yang lainnya dari jalan Muhammad bin Sirin dari Abu Al-’Ujfa’ dari Umar.

Kesaksian terhadap sesuatu dilakukan atas dasar ilmu. Syarat seseorang mati dalam keadaan syahid adalah ia berperang dengan niat meninggikan kalimat Allah, dan ini adalah niat batin yang tidak bisa diketahui, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepada hal itu dengan sabdanya, perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui dengan orang yang berjihad di jalan-Nya” . Juga bersabda,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يَكْلُمُ أَحَدٌ فِي سَبِيْل اللهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يَكْلُمُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْلَوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالِّريْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ

“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, dan Allah mengetahui siapa orang yang terluka di jalan-Nya, kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah warnanya warna darah dan wanginya wangi misk” diriwayatkan Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah.

Kemudian orang-orang yang secara lahir memang memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia syahid namun kita tidak memberi kesaksian bagi orang tersebut dan kita juga tidak berburuk sangka.
Berharap adalah keistimewaan di antara dua keistimewaan, akan tetapi kita memperlakukan orang yang mati tersebut di dunia berdasarkan hukum para syuhada. Jika ia terbunuh ketika berjihad di jalan Allah, ia dikuburkan dengan darah yang berlumuran pada pakaiannya dan tanpa dishalatkan. Sedangkan para syuhada karena sebab yang lain selain jihad, maka ia harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan.

Jika kita memberi kesaksian bagi pribadi tertentu bahwa ia syahid, berarti kita telah memberinya kesaksian bahwa ia akan masuk surga; dan masalah ini menyelisihi apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah. Mereka tidak memberi kesaksian dengan surga kecuali orang yang diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik dengan sifat atau orang tertentu, dan sebagian Ahlus Sunnah berpendapat boleh memberi kesaksian orang yang disepakati mendapat pujian ummat. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu ta’ala.

Dengan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa kita tidak diperkenankan memberi kesaksian bagi seseorang pun bahwa ia mati syahid, kecuali berdasarkan nash dan kesepakatan. Akan tetapi orang yang secara lahir memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia mendapatkan syahid sebagaimana penjelasan yang lalu, ini sudah cukup sesuai bagi kedudukan yang dimilikinya sedangkan ilmu tentangnya ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.

Sumber: Al Manahy Allafzhiyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Judul Asli: Melabeli "Syahid" pada Person Tertentu
Diambil dari http://ulamasunnah.wordpress.com

Kamis, 26 Februari 2009

Melepas Sandal Ketika Masuk Kuburan

Apakah melepas sandal waktu di kuburan itu sunnah atau bid’ah?

Jawab:
Disyariatkan bagi yang masuk kuburan untuk melepas kedua sandalnya, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Basyir bin Al-Khashashiyyah radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan:
Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
يَا صَاحِبَ السَبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سَبْتِيَّتَيْكَ
"Hai pemakai dua sandal tanggalkan kedua sandal kamu!"
Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: "Sanad hadits Basyir bin Al-Khashashiyyah bagus. Aku berpendapat dengan apa yang terkandung padanya kecuali bila ada penghalang."
Penghalang yang dimaksudkan Al-Imam Ahmad adalah semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq, semoga shalawat dan salam-Nya tercurah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya.
Ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, dan Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan. (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 9/123-124)
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=664

Rabu, 25 Februari 2009

DUKUN PONARI DAN FENOMENA BATU PETIR (Muslim Indonesia di persimpangan jalan!? )

Oleh Ust. Jafar Salih

Ponari, nama yang sederhana, sesederhana orangnya. Tidak ada yang istimewa pada sosok bocah sepuluh tahun ini sampai suatu hari ia menemukan sebuah batu yang dikenal belakangan dengan sebutan “batu petir” dan konon diyakini “sakti”, paling tidak oleh ribuan orang yang telah menjadi pasiennya. Batu yang dengan sekali celup, air celupannya bisa mengobati segala macam penyakit. Batu yang telah menjungkirbalikkan logika ribuan anak bangsa!

Ponari, begitu pula Dewi Sulistiyowati dan entah siapa lagi bakal menyusul, telah menjadi sebuah fenomena berkat batu yang mereka temukan. Tapi yang lebih fenomenal dari itu semua adalah ribuan atau bahkan jutaan ummat manusia yang “tersihir” dan percaya terhadap eksistensi “batu petir” dalam proses penyembuhan.

Bicara tentang batu, ummat Islam telah mengenal Hajar Aswad sebagai batu yang paling populer di tengah-tengah kehidupan beragama mereka, karena letak keberadaannya (di dinding Ka’bah) dan posisinya di dalam jiwa kaum muslimin, karena kaitannya dengan ibadah thawaf.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, satu-satunya tauladan ummat, di dalam thawafnya mencontohkan untuk mencium batu ini setiap kali melewatinya pada putaran thawaf atau menyentuhnya bagi yang mampu atau melambai ke arahnya. Demikian istimewanya batu ini, sampai-sampai thawaf tidak dianggap sah kalau tidak memulai thawaf dari arah yang sejajar dengannya. Sehingga jadilah batu ini salah satu dari syi’ar-syi’ar Islam yang wajib dimuliakan, menurut aturan syariat. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. (Qs. Al Hajj: 32)

Tapi kendati pun demikian, batu adalah batu, dia tidak bisa memberi manfaat kepada siapa pun, atau pun mencelakakannya. Adapun kita sampai menciumnya, itu tidak lebih semata-mata dalam rangka menauladani apa yang diperbuat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagai tauladan bagi manusia. Dan konsep ini sangat dipahami sekali oleh generasi pertama ummat ini, para salaf, sampai-sampai Umar bin Khattab Rhadiyallahu 'Anhu, Khalifah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam yang kedua, ketika menciumnya, ia berkata,

إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه و سلم يقبلك ما قبلتك

“Sesungguhnya Aku benar-benar tahu bahwa kamu hanya batu, tidak bisa memberi manfaat atau celaka, kalau saja Aku tidak melihat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam menciummu, Aku tidak akan menciummu”. Muttafaqun ‘Alaihi dari Umar Rhadiyallahu 'Anhu.

Kembali kepada batu Ponari, batu Dewi Sulistiyowati dan batu fulan dan fulan…dst. Terlepas dari pernyataan para pasien yang mengaku sembuh setelah meminum air celupan batu tersebut dan terlepas dari sibuknya para dokter yang menyatakan bahwa itu hanya disebabkan faktor sugesti, yang diakui dunia medis sebagai salah satu faktor penyembuh juga. Saat ini batu-batu tersebut telah menjerumuskan ummat kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena mereka yang mengakui eksistensi batu tersebut dalam proses penyembuhan, tidak lepas dari tiga kelompok manusia:

Yang pertama; mereka yang meyakini bahwa kesembuhan semata-mata berkat kekuatan batu, tidak ada campur tangan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam hal ini. Maka mereka telah jatuh kepada kesyirikan yang besar. Karena mereka telah meyakini ada selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang menyembuhkan.

Yang kedua: mereka yang meyakini bahwa kesembuhan datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata dan batu hanya sebagai sebab. Maka mereka telah terjatuh kepada syirik kecil, karena mereka telah menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab.

Dan yang ketiga: juga merupakan syirik kecil, yaitu mereka yang meyakini batu tersebut ada barakahnya. Sehingga mereka berebut meminum air celupannya dengan niatan mengharap barakahnya.

Al Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsi Rhadiyallahu 'Anhu, ia berkisah, “Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menuju Hunain dan (waktu itu) kami belum lama masuk Islam. Dan orang-orang musyrikin mempunyai pohon Bidara yang mereka jadikan tempat semedi dan menggantungkan senjata-senjata mereka dibawahnya (mengharapkan barakahnya) yang mereka namakan dengan sebutan Dzatu Anwath. Maka (ketika) kami melewati sebuah pohon Bidara, kami berkata: Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath seperti orang-orang musyrikin punya Dzatu Anwath.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Allahu Akbar! Sesungguhnya ini adalah suatu jalan/ajaran, apa yang kalian ucapkan –demi Dzat Yang jiwaku berada di Tangan-Nya- persis seperti yang pernah diucapkan Bani Israil kepada Musa, “Buatkanlah untuk kami sesembahan (selain Allah) sebagaimana mereka punya sesembahan, Musa berkata: kalian adalah kaum yang jahil”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melanjutkan: kalian akan benar-benar mengikuti jalan-jalan ummat sebelum kalian”.

Dan ketahuilah kesyirikan apa pun bentuknya merupakan kedzaliman yang paling besar, lebih besar dari membunuh, mencuri, korupsi, berzina, memakan riba…dstnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Qs. Luqman: 13)

Dan kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni,

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (Qs. An-Nisaa: 48)

Dan karena kesyirikan (besar), Allah Subhanahu Wa Ta'ala haramkan seseorang masuk ke dalam surga,

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. Al Maidah: 72)

Dan banyak lagi kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh dosa kesyirikan. Maka wajib bagi ulama Islam, tokoh-tokoh agama untuk menerangkan masalah ini kepada ummat dan mencegah mereka dari terperosok ke dalam jurang-jurang kebinasaan, sebagaimana wajib bagi pihak yang berwajib untuk menutup praktek pengobatan ini serta praktek-praktek yang serupa, karena ini semua hanya berakibat pada kerugian bangsa, negara dan ummat seluruhnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

وَإِذَ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاء ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْاْ بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu):"Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima”. (Qs. Ali Imran: 187)

Wallahua’lam bis shawab. Wa’aakhiru Da’waana Anilhamdulillahi Rabbil ‘Aalamin.

Sumber : http://ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?id=304

Selasa, 24 Februari 2009

Posisi Makmum Ketiga yang Masbuk

Asy Syaikh ‘Allaamah Ahmad bin Yahya An-Najmi

بسم الله الرحمن الرحيم

فضيلة الشيخ العلامة أحمد بن يحيى النجمي –حفظه الله-.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

عندنا سؤال : إذا صلّى الرجلان جماعةً, ثم جاء الثالث يريد الجماعةَ أيضا معهما. فماذا يفعل وأين يقف ؟

أفيدونا جزاكم الله خيرا.

الجواب : إن كان البراحُ أمامك, أشرتَ إلى الإمام أن يتقدَّم. وإن كان البراحُ خلفك, أشرتَ إلى المأموم أن يتأخَّر. وإلاّ إذا المكان ضيق, وقف المأموم الثاني على يمين الإمام هو والذي معه.

وبالله التوفيق.

(التوقيع)

13 رجب 1428 هـ



Bismillaahirrahmaanirrahiim


Yang Mulia Syaikh ‘Allaamah Ahmad bin Yahya An-Najmi –semoga Allah menjaganya-.

Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Kami memiliki satu pertanyaan : Apabila dua orang shalat berjamaah, kemudian datang orang ketiga ingin berjamaah bersama mereka. Maka apa yang dia lakukan dan dimana dia berdiri? Kami mohon keterangan dari anda, jazakumullah khairan.

Jawab : Apabila terdapat tempat yang luas didepan anda, maka berilah isyarat kepada imam untuk maju kedepan. Apabila terdapat tempat luas dibelakang anda, maka berilah isyarat kepada ma’mum untuk mundur. Namun apabila tempatnya sempit, maka ma’mum kedua berdiri (sejajar) disamping imam dan ma’mum pertama.

Wabillahit-Taufiq.

(Tandatangan)

13 rajab 1428 H

Milis Salafi-Indonesia : http://groups.yahoo.com/group/Salafi-Indonesia/

WAKTU MENGGERAKKAN TELUNJUK KETIKA TASYAHUD

Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Apa hukum menggerakkan telunjuk dalam tasyahud dari permulaan sampai akhir?

Jawaban:
Menggerakkan telunjuk dikerjakan pada saat berdoa’,bukan pada semua tasyahud. Apabila berdoa’ maka jari telunjuk digerakkan sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits.”Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkannya saat berdo’a”1). Maksud dari hal ini yaitu bahwasannya orang yang berdo’a itu sedang berdo’a/memohon kepada Allah Azza wa Jalla dan Allah itu berada di langit sebagaimana firman-Nya:

أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ. أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (16-17) سورة الملك.

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?. atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku?” (QS. Al-Mulk: 16-17).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang berada di langit”2). Jadi Allah Azza wa Jalla berada di langit atau ditempat yang tinggi di atas segala sesuatu. Jika anda berdo’a kepada Allah maka anda sedang menunjuk kea rah yang tinggi.

Oleh karena itu telah jelas riwayat dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang berkhutbah di hadapan manusia saat haji Wada’ dan bersabda:”Bukankah sudah saya sampaikan?” Mereka menjawab:”Benar”. Lalu beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangannya ke langit, kemudian mengarahkannya ke arah manusia seraya bersabda:”Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah (sebanyak tiga kali)”3).

Hal ini menunjukkan bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas segala sesuatu. Ini adalah perkara yang jelas baik secara naluri, akal, indera pendengaran, dan ijma’. Untuk itu setiap kali anda berdo’a maka anda menggerakkan jari telunjuk kea rah langit, sedangkan selain itu biarkan saja jari telunjuk itu diam.

Berikut adalah tempat berdo’a ketika tasyahud:

*) Ketika Membaca:

لسلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته

السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين

Semoga keselamatan terlimpah kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkah-Nya

Semoga keselamatan bagi kami dan bagi hamba-hamba Allah yang Sholih

*) Ketika Membaca:

اللهم صل على محمد وعلى آل محمد

اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد

Ya Allah, berilah sholawat atas Muhammad dan keluarganya

Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya

*) Ketika Membaca:

أعوذ بالله من عذاب جهنم

ومن عذاب القبر

ومن فتنة المحيا والممات

ومن فتنة المسيح الدجال

Aku berlindung kepada Allah dari azab Jahannam,

Dari siksa kubur,

Dari fitnah saat hidup dan mati,

Dari fitnah Masih Ad-Dajjal

Pada kedelapan tempat inilah manusia menggerakkan jarinya kea rah langit. Juga jika berdo’a dengan do’a lainnya maka hendaklah ia menggerakkan jarinya, karena kaidahnya hendaknya menggerakkan jari saat berdo’a.

Sumber: Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, soal no. 254.




Catatan Kaki:

1) Fathu Robbani 3/147. Dikatakan sanadnya jayyid (bagus/baik, pent).

2) HR. Bukhori 4351; Muslim 1064.

3) HR. Muslim 1218.

http://abdurrahman.wordpress.com/2007/09/21/waktu-menggerakkan-telunjuk-ketika-tasyahud/

MENGGERAKKAN JARI TELUNJUK

Fenomena menggerakan jari telunjuk ketika tasyahud yang berkembang luas di tengah masyarakat merupakan satu hal yang perlu dibahas secara ilmiah. Mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka berada dalam perbedaan-perbedaan pendapat dalam masalah agama sering disertai dengan debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya sehingga kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan perkara yang sangat tragis bila semua itu hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’ belaka, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy, kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnul Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan bahwa para ulama juga memiliki perbedaan pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidaklah menimbulkan perpecahan maupun permusuhan diantara mereka. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah adalah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.

Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalahnya adalah sebagai berikut :

Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :

i. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.

ii. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan.

iii. Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.

Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakannnya adalah dari jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak ada keraguan lagi tentang shohihnya hadits-hadits jenis yang ketiga tersebut, karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhammad As-Sa’idy, Wa`il bin Hujr, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya.

Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama (tidak digerakkan sama sekali) dan derajat hadits yang kedua (digerak-gerakkan).



Hadits-Hadits Yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali

Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.



HADITS PERTAMA


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ إِذَا دَعَا وَلاَ يُحَرِّكُهَا


“Sesungguhnya Nabi r beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.


Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.


Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :

¤ Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.

¤ Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata Akhbarani (memberitakan kepadaku).

¤ Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).

¤ ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).

¤ ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.



Derajat Hadits


Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz.

Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :

¤ Pertama : Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.

¤ Kedua : Syadz karena menyelisihi.

Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah


رِوَايَةُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِمَنْ هُوَ أَوْلَى مِنْهُ


“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.



Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.

Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara :

1. Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.

2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :

a. Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.

b. Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.

c. Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.

d. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.

Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

4. Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :

a. ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.

b. Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.

c. Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.


Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.


HADITS YANG KEDUA

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ


“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah r mengerjakannya”.


Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.

Derajat Hadits

Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.

Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :

1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.

2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.

3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.

4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.

5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.

6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.

7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.


Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :

1. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).

2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.

Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.


Kesimpulan :

Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah.



Hadits-Hadits Yang Menyatakan Bahwa Jari Telunjuk Digerak-Gerakkan


Sepanjang pemeriksaan kami, hanya ada satu hadits yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yaitu hadits Wa`il bin Hujr dan lafadznya sebagai berikut :


(ثُمَّ قَبَضَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَحَلَقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهِِ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُوْ بِهَا

“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent.), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.


Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Za`idah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr.


Derajat Hadits


Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan syadz.

Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasannya adalah bahwa : Za`idah bin Qudamah adalah seorang rawi tsiqoh yang kuat hafalannya akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang rawi ini semuanya tsiqoh bahkan sebagian dari mereka itu lebih kuat kedudukannya dari Za`idah sehingga apabila Za`idah menyelisihi seorang saja dari mereka itu maka sudah cukup untuk menjadi sebab syadznya riwayat Za`idah. Semuanya meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wa`il bin Hujr. Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).

Dua puluh dua rawi tersebut adalah :

1. Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.

2. Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.

3. Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.

4. Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.

5. ‘Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.

6. ‘Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.

7. Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.

8. Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.

9. Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.

10. Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.

11. Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.

12. Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.

13. Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.

14. Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.

15. ‘Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.

16. Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.

17. Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.

18. Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.

19. ‘Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.

20. Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.

21. ‘Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.

22. Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.



Dari uraian di atas jelaslah bahwa riwayat Za`idah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz.


Kesimpulan :

Penyebutan lafazh yuharrikuha (jari telunjuk digerak-gerakkan) dalam hadits Wa’il bin Hujr adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.


Pendapat Para Ulama Dalam Masalah Ini

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud dan perbedaan tersebut terdiri dari tiga pendapat :

Pertama : Tidak digerak-gerakkan. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang paling kuat dikalangan orang-orang Syafiiyyah dan Hambaliyah dan ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm.

Kedua : Digerak-gerakkan. Dan ini merupakan pendapat yang kuat dikalangan orang-orang Malikiyyah dan disebutkan oleh Al-Qodhi Abu Ya’la dari kalangan Hambaliyah dan pendapat sebagian orang-orang Hanafiyyah dan Syafiiyyah.

Ketiga : Ada yang mengkompromikan antara dua hadits di atas. Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullahu ta’ala- dalam Syarah Zaad Al-Mustaqni’ mengatakan bahwa digerak-gerakkan apabila dalam keadaan berdoa, kalau tidak dalam keadaan berdoa tidak digerak-gerakkan. Dan Syaikh Al-Albany -rahimahullahu ta’ala- dalam Tamamul Minnah mengisyaratkan cara kompromi lain yaitu kadang digerakkan kadang tidak.


Sebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua hadits yang berbeda kandungan maknanya, ada yang menyebutkan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan dan ada yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan.

Namun dari pembahasan di atas yang telah disimpulkan bahwa hadits yang menyebutkan jari digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah dan demikian pula hadits yang menyebutkan jari tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah. Adapun cara kompromi yang disebutkan dalam pendapat yang ketiga itu bisa digunakan apabila dua hadits tersebut di atas shohih bisa dipakai berhujjah tapi karena dua hadits tersebut adalah hadits yang lemah maka kita tidak bisa memakai cara kompromi tersebut, apalagi hadits yang shohih yang telah tersebut di atas bahwa Nabi r hanya sekedar berisyarat dengan jari telunjuk beliau. Maka yang akan kita bahas disini adalah apakah pada lafadz (Arab) yang artinya berisyarat terdapat makna mengerak-gerakkan atau tidak. Penjelasannya adalah bahwa kata “berosyarat” itu mempunyai dua kemungkinan :

Pertama : Dengan digerak-gerakkan. Seperti kalau saya memberikan isyarat kepada orang yang berdiri untuk duduk, maka tentunya isyarat itu akan disertai dengan gerakan tangan dari atas ke bawah.

Kedua : Dengan tidak digerak-gerakkan. Seperti kalau saya berada dalam maktabah (perpustakaan) kemudian ada yang bertanya kepada saya : “Dimana letak kitab Shohih Al-Bukhory?” Maka tentunya saya akan mengisyaratkan tangan saya kearah kitab Shohih Al-Bukhory yang berada diantara sekian banyak kitab dengan tidak menggerakkan tangan saya.

Walaupun kata “berisyarat” itu mengandung dua kemungkinan tapi disini bisa dipastikan bahwa berisyarat yang diinginkan dalam hadits tersebut adalah berisyarat dengan tidak digerak-gerakkan. Hal tersebut bisa dipastikan karena dua perkara :

Pertama : Ada kaidah di kalangan para ulama yang mengatakan Ash-Sholatu Tauqifiyah (sholat itu adalah tauqifiyah) maksudnya tata cara sholat itu dilaksanakan kalau ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Maka hal ini menunjukkan bahwa asal dari sholat itu adalah tidak ada gerakan di dalamnya kecuali kalau ada tuntunan dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan demikian pula berisyarat dengan jari telunjuk, asalnya tidak digerakkan sampai ada dalil yang menyatakan bahwa jari telunjuk itu diisyaratkan dengan digerakkan dan telah disimpulkan bahwa berisyarat dengan menggerak-gerakkan jari telunjuk adalah hadits lemah. Maka yang wajib dalam berisyarat itu dengan tidak digerak-gerakkan.

Kedua : Dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary N0. dan Imam Muslim No.538 :

إِنَّ فِي الصَّلاَةِ شُغْلاً

“Sesungguhnya di dalam sholat adalah suatu kesibukan”

Maka ini menunjukkan bahwa seorang muslim apabila berada dalam sholat ia berada dalam suatu kesibukan yang tidak boleh ditambah dengan suatu pekerjaan yang tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an atau hadits Rasulullah r yang shohih.

Kesimpulan :

Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang rojih tentang keadaan jari telunjuk dalam berisyarat (menunjuk) ketika tasyahud adalah tidak digerak-gerakkan. Wallahu A’lam.


Lihat pembahasan di atas dalam :

$ Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.

$ Madzhab Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.

$ Madzhab Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.

$ Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu’ 3/416-417, Al-Iqna’ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.

Madzhab Hambaliyah lihat dalam : Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu’ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona 1/356-357.

http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Fiqh&article=20

Senin, 23 Februari 2009

Hukum memutar kaset bacaan Al-Qur`an tanpa disimak

Penulis: Shaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani

Syaikh Al-Albany ditanya:
Apabila dalam suatu majelis (perkumpulan) diperdengarkan kaset murattal (bacaan Al-Qur'an) tetapi orang-orang yang hadir dalam majelis tersebut kebanyakan mengobrol dan tidak menyimak kaset tersebut. Siapakah dalam hal ini yang berdosa ? Yang mengobrol atau yang memutar (memasang) kaset ?

Jawaban:
Apabila majelis tersebut memang majelis dzikir dan ilmu yang di dalamnya ada tilawah Al-Qur'an, maka siapapun yang hadir dalam majelis tersebut wajib diam dan menyimak bacaan tersebut. Dan berdosa bagi siapa saja yang sengaja mengobrol dan tidak menyimak bacaan tersebut. Dalilnya adalah surat Al-A'raf ayat 204 : وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
artinya : "Apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah agar kalian mendapat rahmat."

Adapun jika majelis tersebut bukan majelis ilmu dan dzikir serta bukan majelis tilawah Al-Qur'an akan tetapi hanya kumpul-kumpul biasa untuk mengobrol, diskusi, bekerja, belajar ataupun pekrjaan lain-lain, maka dalam suasana seperti ini tidak boleh kita mengeraskan bacaan Al-Qur'an baik secara langsung ataupun lewat pengeras suara (kaset), sebab hal ini berarti memaksa orang lain untuk ikut mendengarkan AL-Qur'an, padahal mereka sedang mempunyai kesibukan lain dan tidak siap untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an. Jadi dalam keadaan seperti ini yang salah dan berdosa adalah orang yang memperdengarkan kaset murattal tersebut.

Di dalam masalah ini ada sebuah contoh : Misalnya kita sedang melewati sebuah jalan, yang di jalan tersebut terdengar suara murattal yang keras yang berasal dari sebuah toko kaset. Begitu kerasnya murattal ini sehingga suaranya memenuhi jalanan.
Apakah dalam keadaan seperti ini kita wajib diam untuk mendengarkan bacaan Al-Qur'an yang tidak pada tempatnya itu ? Jawabannya tentu saja "tidak". Dan kita tidak bersalah ketika kita tidak mampu untuk menyimaknya.
Yang bersalah dalam hal ini adalah yang memaksa orang lain untuk mendengarkannya dengan cara memutar keras-keras kaset murattal tersebut dengan tujuan untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat agar mereka tertarik untuk membeli dagangannya.

Dengan demikian mereka telah menjadikan Al-Qur'an ini seperti seruling (nyanyian) sebagaimana telah di-nubuwah-kan (diramalkan) dalam sebuah hadits shahih [*]. Kemudian mereka itu juga menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang rendah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, hanya caranya saja yang berbeda.
"Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit." (QS. At-Taubah : 9).

[*] Ash-Shahihah No. 979

(Dinukil dari : Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim, edisi bahasa Indonesia: Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Syaikh Al-Albani)

Memotong Rambut Seperti Model Barat

Tanya: Apa hukumnya memotong rambut dengan model yang diambil dari majalah-majalah Barat atau model potongan yang dikenal di kalangan orang-orang dengan nama tertentu, yang juga diambil dari Barat? Apabila telah tersebar luas model potongan demikian di kalangan wanita muslimah, apakah masih teranggap tasyabbuh?

Jawab: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, "Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan rambut wanita sebagai keindahan dan perhiasan baginya, sehingga haram bagi si wanita mencukurnya kecuali karena darurat. Bahkan dalam tahallul haji dan umrah, si wanita hanya disyariatkan memotong rambutnya seukuran kuku, di mana dalam saat yang bersamaan (dalam dua ibadah ini) lelaki disyariatkan mencukur rambutnya. Hal ini termasuk bukti bahwa wanita dituntut memelihara rambutnya dan tidak memotongnya kecuali karena kebutuhan, bukan semata alasan ingin berhias. Karena –misalnya– si wanita sakit sehingga rambutnya perlu dipotong atau ia tidak mampu menyediakan kebutuhan (biaya) perawatan rambutnya karena kefakirannya. Dalam keadaan seperti ini, boleh bagi si wanita meringankan rambutnya dengan memotongnya, sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal beliau1.
Adapun bila si wanita memotong rambutnya karena tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan fasik, maka tidak diragukan keharamannya, walaupun model seperti itu telah banyak tersebar di kalangan wanita muslimah, selama asalnya tasyabbuh maka tetap haram. Tersebar bukanlah berarti pembolehan, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut."
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
"Bukan termasuk golongan kami, orang yang menyerupai (tasyabbuh) dengan selain kami."2
Kaidah dalam perkara ini adalah apa yang merupakan kebiasaan orang-orang kafir secara khusus maka tidak boleh kita melakukannya dalam rangka tasyabbuh dengan mereka. Karena tasyabbuh dengan mereka dalam perkara dzahir menunjukkan kecintaan kepada mereka di dalam batin. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
"Siapa di antara kalian berloyalitas dengan mereka (orang-orang kafir) maka dia termasuk dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim." (Al-Ma`idah: 51)
Berloyalitas kepada mereka adalah mencintai mereka dan termasuk fenomena cinta adalah tasyabbuh dengan mereka." (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/186, 187)


1 Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسلم الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ, وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
"Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834) –pent.
2 HR. Ahmad 2/50, 92, Abu Dawud, dan selainnya dari Ibnu ‘Umar c. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1269. –pent.
1 Seperti yang disebutkan dalam hadits berikut ini:
Abu Salamah bin Abdirrahman, anak susu dari Ummu Kultsum bintu Abi Bakr, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anhum, menyatakan, "Aku masuk ke tempat Aisyah x bersama saudara laki-laki sepersusuan Aisyah. Maka saudaranya ini bertanya kepada Aisyah tentang mandi janabah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aisyah pun meminta diambilkan air dalam bejana yang berukuran sekadar satu sha’, lalu ia mandi, sementara antara kami dan Aisyah ada penutup. Aisyah menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali. Kata Abu Salamah:
كَانَ أَزْوَاجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْخُذْنَ مِنْ رُؤُسِهِنَّ حَتَّى يَكُوْنَ كَالوَفْرَةِ
"Adalah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil (memendekkan) rambut mereka hingga seperti wafrah." (HR. Muslim no. 726)
Wafrah adalah rambut yang sampai ke kedua telinga dan tidak melebihinya. Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa yang umum di kalangan wanita-wanita Arab adalah memanjangkan rambut mereka hingga dapat dijalin. Adapun yang dilakukan oleh istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bisa jadi setelah wafat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka tidak lagi butuh berdandan dan merasa tidak ada kebutuhan memanjangkan rambut mereka, dalam rangka mempermudah perawatan rambut. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu memastikan bahwa hal itu dilakukan oleh istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau meninggal, bukan di masa hidup beliau. Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, "Dalam hadits ini ada dalil bolehnya wanita mengurangi rambutnya. Wallahu a’lam." (Al-Minhaj, 3/229)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, "Boleh bagi wanita mengambil/memotong rambutnya jika tidak bertujuan untuk tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir. Namun kalau tujuannya tasyabbuh, tidaklah dibolehkan dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
dan hadits lainnya." (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah, hal. 148) -pent.
2 HR. At-Tirmidzi no. 2695 dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya. Lihat Ash-Shahihah hadits no. 2194.

http://asysyariah.com/print.php?id_online=627

Jumat, 20 Februari 2009

Imam Ahmad Bin Hambal

Nama dan Nasab :
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi. Ayah beliau seorang komandan pasukan di Khurasan di bawah kendali Dinasti Abbasiyah. Kakeknya mantan Gubernur Sarkhas di masa Dinasti Bani Umayyah, dan di masa Dinasti Abbasiyah menjadi da’i yang kritis.

Kelahiran Beliau :
Beliau dilahirkan di kota Baghdad pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Beliau tumbuh besar di bawah asuhan kasih sayang ibunya, karena bapaknya meninggal dunia saat beliau masih berumur belia, tiga tahun. Meski beliau anak yatim, namun ibunya dengan sabar dan ulet memperhatian pendidikannya hingga beliau menjadi anak yang sangat cinta kepada ilmu dan ulama karena itulah beliau kerap menghadiri majlis ilmu di kota kelahirannya.

Awal mula Menuntut Ilmu
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.

Keadaan fisik beliau :
Muhammad bin ‘Abbas An-Nahwi bercerita, Saya pernah melihat Imam Ahmad bin Hambal, ternyata Badan beliau tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu pendek, wajahnya tampan, di jenggotnya masih ada yang hitam. Beliau senang berpakaian tebal, berwarna putih dan bersorban serta memakai kain.
Yang lain mengatakan, "Kulitnya berwarna coklat (sawo matang)"

Keluarga beliau :
Beliau menikah pada umur 40 tahun dan mendapatkan keberkahan yang melimpah. Beliau melahirkan dari istri-istrinya anak-anak yang shalih, yang mewarisi ilmunya, seperti Abdullah dan Shalih. Bahkan keduanya sangat banyak meriwayatkan ilmu dari bapaknya.

Kecerdasan beliau :
Putranya yang bernama Shalih mengatakan, Ayahku pernah bercerita, "Husyaim meninggal dunia saat saya berusia dua puluh tahun, kala itu saya telah hafal apa yang kudengar darinya".

Abdullah, putranya yang lain mengatakan, Ayahku pernah menyuruhku, "Ambillah kitab mushannaf Waki’ mana saja yang kamu kehendaki, lalu tanyakanlah yang kamu mau tentang matan nanti kuberitahu sanadnya, atau sebaliknya, kamu tanya tentang sanadnya nanti kuberitahu matannya".

Abu Zur’ah pernah ditanya, "Wahai Abu Zur’ah, siapakah yang lebih kuat hafalannya? Anda atau Imam Ahmad bin Hambal?" Beliau menjawab, "Ahmad". Beliau masih ditanya, "Bagaimana Anda tahu?" beliau menjawab, "Saya mendapati di bagian depan kitabnya tidak tercantum nama-nama perawi, karena beliau hafal nama-nama perawi tersebut, sedangkan saya tidak mampu melakukannya". Abu Zur’ah mengatakan, "Imam Ahmad bin Hambal hafal satu juta hadits".

Pujian Ulama terhadap beliau :
Abu Ja’far mengatakan, "Ahmad bin Hambal manusia yang sangat pemalu, sangat mulia dan sangat baik pergaulannya serta adabnya, banyak berfikir, tidak terdengar darinya kecuali mudzakarah hadits dan menyebut orang-orang shalih dengan penuh hormat dan tenang serta dengan ungkapan yang indah. Bila berjumpa dengan manusia, maka ia sangat ceria dan menghadapkan wajahnya kepadanya. Beliau sangat rendah hati terhadap guru-gurunya serta menghormatinya".

Imam Asy-Syafi’i berkata, "Ahmad bin Hambal imam dalam delapan hal, Imam dalam hadits, Imam dalam Fiqih, Imam dalam bahasa, Imam dalam Al Qur’an, Imam dalam kefaqiran, Imam dalam kezuhudan, Imam dalam wara’ dan Imam dalam Sunnah".

Ibrahim Al Harbi memujinya, "Saya melihat Abu Abdillah Ahmad bin Hambal seolah Allah gabungkan padanya ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan dari berbagai disiplin ilmu".

Kezuhudannya :
Beliau memakai peci yang dijahit sendiri. Dan kadang beliau keluar ke tempat kerja membawa kampak untuk bekerja dengan tangannya. Kadang juga beliau pergi ke warung membeli seikat kayu bakar dan barang lainnya lalu membawa dengan tangannya sendiri. Al Maimuni pernah berujar, "Rumah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal sempit dan kecil".

Tekunnya dalam ibadah
Abdullah bin Ahmad berkata, "Bapakku mengerjakan shalat dalam sehari-semalam tiga ratus raka’at, setelah beliau sakit dan tidak mampu mengerjakan shalat seperti itu, beliau mengerjakan shalat seratus lima puluh raka’at.

Wara’ dan menjaga harga diri
Abu Isma’il At-Tirmidzi mengatakan, "Datang seorang lelaki membawa uang sebanyak sepuluh ribu (dirham) untuk beliau, namun beliau menolaknya". Ada juga yang mengatakan, "Ada seseorang memberikan lima ratus dinar kepada Imam Ahmad namun beliau tidak mau menerimanya". Juga pernah ada yang memberi tiga ribu dinar, namun beliau juga tidak mau menerimanya.

Tawadhu’ dengan kebaikannya :
Yahya bin Ma’in berkata, "Saya tidak pernah melihat orang yang seperti Imam Ahmad bin Hambal, saya berteman dengannya selama lima puluh tahun dan tidak pernah menjumpai dia membanggakan sedikitpun kebaikan yang ada padanya kepada kami".

Beliau (Imam Ahmad) mengatakan, "Saya ingin bersembunyi di lembah Makkah hingga saya tidak dikenal, saya diuji dengan popularitas".

Al Marrudzi berkata, "Saya belum pernah melihat orang fakir di suatu majlis yang lebih mulia kecuali di majlis Imam Ahmad, beliau perhatian terhadap orang fakir dan agak kurang perhatiannya terhadap ahli dunia (orang kaya), beliau bijak dan tidak tergesa-gesa terhadap orang fakir. Beliau sangat rendah hati, begitu tinggi ketenangannya dan sangat memuka kharismanya".

Beliau pernah bermuka masam karena ada seseorang yang memujinya dengan mengatakan, "Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas jasamu kepada Islam?" beliau mengatakan, "Jangan begitu tetapi katakanlah, semoga Allah membalas kebaikan terhadap Islam atas jasanya kepadaku, siapa saya dan apa (jasa) saya?!"

Sabar dalam menuntut ilmu
Tatkala beliau pulang dari tempat Abdurrazzaq yang berada di Yaman, ada seseorang yang melihatnya di Makkah dalam keadaan sangat letih dan capai. Lalu ia mengajak bicara, maka Imam Ahmad mengatakan, "Ini lebih ringan dibandingkan faidah yang saya dapatkan dari Abdirrazzak".

Hati-hati dalam berfatwa :
Zakariya bin Yahya pernah bertanya kepada beliau, "Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang hingga bisa menjadi mufti? Apakah cukup seratus ribu hadits? Beliau menjawab, "Tidak cukup". Hingga akhirnya ia berkata, "Apakah cukup lima ratus ribu hadits?" beliau menjawab. "Saya harap demikian".

Kelurusan aqidahnya sebagai standar kebenaran
Ahmad bin Ibrahim Ad-Dauruqi mengatakan, "Siapa saja yang kamu ketahui mencela Imam Ahmad maka ragukanlah agamanya". Sufyan bin Waki’ juga berkata, "Ahmad di sisi kami adalah cobaan, barangsiapa mencela beliau maka dia adalah orang fasik".

Masa Fitnah :
Pemahaman Jahmiyyah belum berani terang-terangan pada masa khilafah Al Mahdi, Ar-Rasyid dan Al Amin, bahkan Ar-Rasyid pernah mengancam akan membunuh Bisyr bin Ghiyats Al Marisi yang mengatakan bahwa Al Qur’an adalah makhluq. Namun dia terus bersembunyi di masa khilafah Ar-Rasyid, baru setelah beliau wafat, dia menampakkan kebid’ahannya dan menyeru manusia kepada kesesatan ini.

Di masa khilafah Al Ma’mun, orang-orang jahmiyyah berhasil menjadikan paham jahmiyyah sebagai ajaran resmi negara, di antara ajarannya adalah menyatakan bahwa Al Qur’an makhluk. Lalu penguasa pun memaksa seluruh rakyatnya untuk mengatakan bahwa Al Qur’an makhluk, terutama para ulamanya.

Barangsiapa mau menuruti dan tunduk kepada ajaran ini, maka dia selamat dari siksaan dan penderitaan. Bagi yang menolak dan bersikukuh dengan mengatakan bahwa Al Qur’an Kalamullah bukan makhluk maka dia akan mencicipi cambukan dan pukulan serta kurungan penjara.

Karena beratnya siksaan dan parahnya penderitaan banyak ulama yang tidak kuat menahannya yang akhirnya mengucapkan apa yang dituntut oleh penguasa zhalim meski cuma dalam lisan saja. Banyak yang membisiki Imam Ahmad bin Hambal untuk menyembunyikan keyakinannya agar selamat dari segala siksaan dan penderitaan, namun beliau menjawab, "Bagaimana kalian menyikapi hadits "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalianKhabbab, yaitu sabda Nabi Muhammad ada yang digergaji kepalanya namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya". HR. Bukhari 12/281. lalu beliau menegaskan, "Saya tidak peduli dengan kurungan penjara, penjara dan rumahku sama saja".

Ketegaran dan ketabahan beliau dalam menghadapi cobaan yang menderanya digambarkan oleh Ishaq bin Ibrahim, "Saya belum pernah melihat seorang yang masuk ke penguasa lebih tegar dari Imam Ahmad bin Hambal, kami saat itu di mata penguasa hanya seperti lalat".

Di saat menghadapi terpaan fitnah yang sangat dahsyat dan deraan siksaan yang luar biasa, beliau masih berpikir jernih dan tidak emosi, tetap mengambil pelajaran meski datang dari orang yang lebih rendah ilmunya. Beliau mengatakan, "Semenjak terjadinya fitnah saya belum pernah mendengar suatu kalimat yang lebih mengesankan dari kalimat yang diucapkan oleh seorang Arab Badui kepadaku, "Wahai Ahmad, jika anda terbunuh karena kebenaran maka anda mati syahid, dan jika anda selamat maka anda hidup mulia". Maka hatiku bertambah kuat".

Ahli hadits sekaligus juga Ahli Fiqih
Ibnu ‘Aqil berkata, "Saya pernah mendengar hal yang sangat aneh dari orang-orang bodoh yang mengatakan, "Ahmad bukan ahli fiqih, tetapi hanya ahli hadits saja. Ini adalah puncaknya kebodohan, karena Imam Ahmad memiliki pendapat-pendapat yang didasarkan pada hadits yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, bahkan beliau lebih unggul dari seniornya".

Bahkan Imam Adz-Dzahabi berkata, "Demi Allah, beliau dalam fiqih sampai derajat Laits, Malik dan Asy-Syafi’i serta Abu Yusuf. Dalam zuhud dan wara’ beliau menyamai Fudhail dan Ibrahim bin Adham, dalam hafalan beliau setara dengan Syu’bah, Yahya Al Qaththan dan Ibnul Madini. Tetapi orang bodoh tidak mengetahui kadar dirinya, bagaimana mungkin dia mengetahui kadar orang lain!!

Guru-guru Beliau
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah:
1. Ismail bin Ja’far
2. Abbad bin Abbad Al-Ataky
3. Umari bin Abdillah bin Khalid
4. Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami
5. Imam Asy-Syafi’i.
6. Waki’ bin Jarrah.
7. Ismail bin Ulayyah.
8. Sufyan bin ‘Uyainah
9. Abdurrazaq
10. Ibrahim bin Ma’qil.

Murid-murid Beliau :
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah :
1. Imam Bukhari.
2. Muslim
3. Abu Daud
4. Nasai
5. Tirmidzi
6. Ibnu Majah
7. Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad juga pernah berguru kepadanya.
8. Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal
9. Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal
10. Keponakannya, Hambal bin Ishaq
11. dan lain-lainnya.

Wafat beliau :
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.

Karya beliau sangat banyak, di antaranya :
1. Kitab Al Musnad, karya yang paling menakjubkan karena kitab ini memuat lebih dari dua puluh tujuh ribu hadits.
2. Kitab At-Tafsir, namun Adz-Dzahabi mengatakan, "Kitab ini hilang".
3. Kitab Az-Zuhud
4. Kitab Fadhail Ahlil Bait
5. Kitab Jawabatul Qur’an
6. Kitab Al Imaan
7. Kitab Ar-Radd ‘alal Jahmiyyah
8. Kitab Al Asyribah
9. Kitab Al Faraidh
Terlalu sempit lembaran kertas untuk menampung indahnya kehidupan sang Imam. Sungguh sangat terbatas ungkapan dan uraian untuk bisa memaparkan kilauan cahaya yang memancar dari kemulian jiwanya. Perjalanan hidup orang yang meneladai panutan manusia dengan sempurna, cukuplah itu sebagai cermin bagi kita, yang sering membanggakannya namun jauh darinya.

Dikumpulkan dan diterjemahkan dari kitab Siyar A’lamun Nubala
Karya Al Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah
Sumber: Majalah As Salam